Rabu, 22 Januari 2014

PERBANDINGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ADAT DAN MENURUT BW DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perbandingan hukum perdata adalah salah satu cabang ilmu hukum yang menggunakan metode perbandingan  dalam rangka mencari jawaban yang tepat atas problema hukum perdata yang lebih kongkret. Ruang lingkup perbandingan hukum perdata ada dua yaitu membandingakan hukum perdata secara umum dan perbandingan huhkum perdata secara khusus. Membandingan hukum perdata secara umum yaitu membandingkan berbagai  sitem-sistem hukum yang ada sedangkan membandingkan hukum perdata secara khusus yaitu membandingkan lembaga-lembaga atau pranata-pranata berbagai sitem hukum yang ada.
Hukum Waris adalah salah satu objek kajian dalam perbendingan hukum perdata yang juga merupakan suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum waris sangat penting dalam kehidupan manusia terutama para ahli waris, karena menyangkut kelangsungan hidup dan kebutuhan penerima warisan tersebut, kelangsungan kepemilikan dan pemanfaatan harta warisan serta keharmonisan hubungan keluarga antara ahli waris. Indonesia adalah Negara yang menganut beberapa system kewarisan hukum diantaranya adalah system kewarisan menurut hukum perdata barat atau menurut BW (Burgerlijk Wetboek), system keawarisan menurut hukum islam dan system kewarisan menurut hukum adat.
Hukum adat merupakan system hukum yang sudah dikenal di Indonesia jauh sebelum hukum islam dan hukum perdata barat masuk ke Indonesia. Indonesia mempunyai keragaman kebudayaan dan adat di berbagai daerah, dengan keragaman itu maka system hukum adatnya juga berbeda termasuk mengenai kewarisan. Sedangkan hukum perdata yang dianut Indonesia saat ini adalah hukum peninggalan dari kolonial belanda, dalam BW di atur sacara jelas mengenai kewarisan. Kewarisan menurut BW berlaku kepada semua warga Negara Indonesia tidak terkecualai kepada adat-adat tertentu.
Dua system kewarisan diatas tentunya mempunyai karakter yang berbeda dengan karakter yang berbeda maka menimbulkan akibat yang berbeda pula. Maka dari itu kami kelompok satu membuat makalah yang berjudul “Perbandingan Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat dan BW di Indonesia”.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang kami mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Siapa saja yang berhak menjadi ahli waris menurut hukum adat dan menurut BW
2.      Bagaimanakah system pembagian harta warisan menurut hukum ada dan menurut BW

C.    Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah adalah sebagai berikut :
1.      Dapat mengetahui ahli waris menurut hukum adat dan menurut BW
2.      Dapat mengetahui siperti apa system pembagian warisan menurut hukum ada dan menurut BW

D.    Manfaat
Manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagi mahasiswa, makalah ini dapat mengembangkan pengetahuan di dalam ilmu hukum perbandingan hukum perdata.
2.      Bagi masyarakat, memberikan masukan sekaligus dapat menambah wawasan tentang hukum waris menurut hukum adat dan hukum waris menurut BW


















BAB III
LANDASAN TEORI

A.    Pengertian Hukum Waris Menurut Hukum Adat

Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya, sebab terjadinya waris tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan kepada warisnya.
Hukum waris adat atau ada yang menyebutnya dengan hukum adat waris adalah hukum adat yang pada pokoknya mengatur tentang orang yang meninggalkan harta atau memberikan hartanya (Pewaris), harta waris (Warisan), waris (Ahli waris dan bukan ahli waris) serta pengoperan dan penerusan harta waris dari pewaris kepada warisnya.
Untuk mengetahui secara mendalam, berikut ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat :

1.      H. Abdullah Syah, 1994
Pengertian hukum waris ditinjau dari Hukum Adat adalah : aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan & peralihan dari harta kekayaan yang berwujud & tidak berwujud dari generasi pada generasi.

2.      Hilman Hadikusuma, 1983
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan dan kedamaian di dalam hidup.

3.      Soepomo, 1980
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya

4.      Soerojo Wignyodpoero, 1985
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.

5.      Iman Sudiyat
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus / pengoperan dan peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi ke generasi.
Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, pada umumnya para penulis hukum sependapat bahwa "Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya".

B.     Pengertian Hukum Waris Menurut BW
Beberapa penulis dan ahli hukum Indonesia telah mencoba memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun dalam bentuk batasan (definisi). Sebagai pedoman dalam upaya memahami pengertian hukum waris secara utuh, beberapa difinisi di antaranya penulis sajikan sebagai berikut:

1.      Wirjono Prodjodikoro
Mengemukakan: Hukum Waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”.

2.      Soepomo
 “Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.

3.      R. Santoso Pudjosubroto,
Mengemukakan, “Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”. Seperti halnya Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah "hukum warisan", R. Santoso Pudjosubroto juga memakai istilah serupa di dalam rumusannya, yakni menggunakan istilah "hukum warisan" untuk menyebut "hukum waris". Selanjutnya beliau menguraikan bahwa sengketa pewarisan timbul apabila ada orang yang meninggal, kemudian terdapat harta benda yang ditinggalkan, dan selanjutnya terdapat orang-orang yang berhak menerima harta yang ditinggalkan itu; kemudian lagi tidak ada kesepakatan dalam pembagian harta warisan itu.

4.      B. Ter Haar Bzn
Dalam bukunya "Azas-azas dan Susunan Hukum Adat" yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto memberikan rumusan hukum waris sebagai berikut : "Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi".















BAB III
ANALISIS PEMBAHASAN


A.    Ahli Waris Menurut Hukum Adat dan Menurut BW
1.      Ahli waris menurut hukum adat
Menurut hukum adat untuk menentukan siapa yang mejadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok yaitu :
a.       Garis pokok keutamaan, yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dnegan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Golongan tersebut adalah sebagai berikut :
·         Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris
·         Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris
·         Kelompok keutamaan III : saudara-saudara pewaris dan keturunannya
·         Kelompok keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris
b.      Garis pokok penggantian, yaitu garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris, golongan tersebut yaitu :
·         Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris
·         Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris
Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan berbeda. Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti Batak, yang merupakan ahli waris hanyalah anak laki-laki, demikian juga di Bali. Berbeda dengan masyarakat di Sumatera Selatan yang menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah tidak saja anak laki-laki tetapi juga anak perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut sistem bilateral, baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang tuanya.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 BW. Hukum waris adat juga tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 BW. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.

2.      Ahli waris menurut BW
Dalam hukum perdata BW indonesia dikenal 4 penggolongan ahli waris yaitu :
·         Golongan I : anak anak dan keturunan serta janda atau duda yang hidup terlama (Pasal 852 BW).
·         Golongan II : orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan dan keturunan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 854, 857, 859 BW).
·         Golongan III : Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua (Pasal 853 BW).
·         Golongan IV: Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke enam (Pasal 858 BW).
Ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penggolongan ahli waris diantaranya:
a.       Jika tidak ada ke empat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada Negara.
b.      Golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian. Jadi jika ada ahli waris golongan I, maka ahli waris golongan II, III dan IV tidak menjadi ahli waris.
c.       Jika golongan I tidak ada, golongan II yang mewaris. Golongan III dan IV tidak mewaris. Akan tetapi, golongan III dan IV adalah mungkin mewaris bersama-sama kalau mereka berlainan garis.
d.      Dalam golongan I termasuk anak-anak sah maupun luar kawin yang diakui sah dengan tidak membedakan laki-laki/perempuan dan perbedaan umur.
e.       Apabila si meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, atau juga saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 859 BW, warisan harus dibagi dalam dua bagian yang sama pembagian itu berupa satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis sibapak lurus ke atas dan satu bagian lagi untuk sekalian keluarga yang sama dalam garis ibu.
Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:
a.       Bagian golongan I yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau cucu pewaris.
b.      Bagian golongan II yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
·         1/2 (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
·         1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris;
·         1/4 (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris;
·         Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
c.       Bagian golongan III yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua(kloving). Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek. Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudara-saudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan pewaris. Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”. 
d.      Bagian Golongan IV : sanak keluarga selanjutnya dalam garis menyamping. Sesudah garis keatas dipanggillah sanak keluarga dari garis menyamping diluar golongan kedua. Sama seperti ahli waris golongan ketiga, harta peninggalan terlebih dahulu dibagi (kloving) terlebih dahulu menjadi dua bagian. Sanak saudara yang lebih dekat derajatnya dengan pewaris menyampingkan sanak saudara yang lain. BW menetapkan sanak saudara menyamping yang dapat mewaris hanyalah sampai derajat ke enam. Oleh karena itu apabila dalam garis menyamping keluarga yang bertalian kekeluargaannya berada dalam suatu derajat yang lebih jauh dari derajat keenam maka mereka tidak mewaris. Kalau hal ini terjadi pada satu garis keturunan, maka bagiannya akan menjadi hak keluarga pada garis keturunan yang lain, kalau orang itu mempunyai hak kekeluargaan dalam derajat yang tidak melebihi derajat keenam.


B.     Sistem Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat dan Menurut BW
1.      Sistem pembagian harta warisan menurut hukum adat
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem pembagian warisan dalam hukum adat, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual.

a.       Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntui”).

Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah “kalakeran”  yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.

b.      Sistem Mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “kewarisan mayorat”.

Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak punyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura. Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang disebut “tunggu tubing” (penunggu harta) yang didampingi “paying jurai,sebagai “mayorat wanita”.


c.       Sistem Individual
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam BW dan dalam Hukum Waris Islam.

2.      Sistem pembagian harta warisan menurut BW
Sistem pembagian harta warisan menurut BW dapat digolongkan dalam dua sistem yaitu system pewarisan Ab Intestanto dan system pewarisan Testament
1.      Sitem Ab Intestanto (menurut udang-undang)
Ahli waris menurut undang-undang (ab intestato) adalah ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. mewaris berdasarkan undang-undang ini adalah yang paling diutamakan mengingat adanya ketentuan legitime portie yang dimiliki oleh setiap ahli waris ab intestato ini. Dalam pasal 832 kuh perdata, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sederajat baik sah maupun di luar kawin yang diakui, serta suami isteri yang hidup terlama. ahli waris yang berdasarkan undang-undang ini berdasarkan kedudukannya dibagi menjadi dua bagian lagi yakni:
a.       Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofed)
Ahli waris yang tergolong golongan ini adalah yang terpanggil untuk menerima harta warisan berdasarkan kedudukannya sendiri. dalam pasal 852 ayat (2) BW, dinyatakan:
“mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka memiliki pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri; ….”.
Mereka yang menjadi ahli waris karena kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga si pewaris mempunyai posisi yang memberikan kepadanya hak untuk menerima harta warisan, haknya tersebut adalah haknya sendiri bukan menggantikan orang lain. mewaris kepala demi kepala artinya tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya dan tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. 
b.      Berdasarkan penggantian (Bij Plaatvervuling)
Ahli waris yang menerima ahli waris dengan cara menggantikan, yakni ahli waris yang menerima warisan sebagai pengganti ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Ahli waris bij plaatvervuling ini diatur dalam pasal 841 sampai pasal 848 BW. 
Dalam pasal 841 BW ini dengan jelas mengatakan bahwa memberi hak kepada seseorang untuk menggantikan hak-hak orang yang meninggal dunia. orang menggantikan tempat tersebut memperoleh hak dari orang yang digantikannya.

2.      Sistem Testament (wasiat)
Ahli waris berdasarkan wasiat (testament) yang menjadi ahli waris di sini adalah orang yang ditunjuk atau diangkat oleh pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya (Erfstelling), yang kemudian disebut dengan ahli waris ad testamento. wasiat atau testamen dalam BW adalah pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia. pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu ialah keluar dari satu pihak saja (Eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali (Herroepen) oleh pewasiat baik secara tegas (Uitdrukklijk) atau secara diam-diam (Stilzwijdend). Aturan testamen yang terdapat dalam pasal 874 BW ini mengandung suatu syarat bahwa testamen tidak boleh bertentangan dengan legitime portie dalam pasal 913 BW. dan yang paling lazim adalah suatu testamen berisi apa yang dinamakan erfstelling yaitu penunjukkan seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat harta warisan seluruh atau sebagian dari harta warisan.
Macam-macam Testament (surat wasiat) sebagai berikut :
a.       Openbaare Testament (Wasiat Terbuka)
Yaitu wasiat berbentuk akta notaris yang isinya dibuat sesuai dengan kehendak pembuat surat wasiat dengan dihadiri oleh dua orang saksi untuk dibacakan saat pembuat surat wasiat meninggal dunia.
b.      Olografis Testament (Wasiat tulisan tangan)
Yaitu wasiat yang ditulis tangan oleh pembuat surat wasiat dengan dihadiri oleh dua orang saksi, kemudian diserahkan sendiri kepada seo­rang notaris untuk disimpan dan nantinya diserahkan kepada Kantor Ba­lai Harta Peninggalan (BHP) untuk dibacakan saat pembuat surat wasiat mening­gal dunia.
c.       Geheimde Testament (Wasiat Rahasia)
Yaitu wasiat yang dibuat sendiri oleh pembuat Surat Wasiat di hadapan 4 (empat) orang saksi, kemudian dimasukkan dalam sampul tertutup yang disegel serta diserahkan kepada seorang notaris untuk disimpan dan dibacakan saat pembuat surat wasiat meninggal dunia.










BAB IV
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dari analisis pembahasan di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa :
1.      Dalam hukum waris adat Tidak mengenal “Legitieme Portie”. Menetapkan persamaan hak serta meletakkan dasar kerukunan pada proses pembagian secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa tiap waris. Sedangkan hukum waris menurut BW Mengenal hak tiap ahli waris atas bagian tertentu dari harta peninggalan bagian warisan menurut ketentuan undang-undang (“Wettelijk Erfdeel” atau “Legitieme Portie” pasal 913 sampai dengan 929).
2.      Dalam system pembagian harta warisan menurut hukum adat mengenal tiga system yaitu System Kolektif, System Mayorat, System Individual sedangkan hukum waris menurut BW hanya mengenal dua system pembagian harta warisan yaitu system Ab Intestanto (menurut udang-undang) dan system Tastament (wasiat).

B.     Saran
Sebagai mahasiswa seharusnya lebih mempelajari lagi dan mengkaji serta melakukan perbandingan dalam hukum perdata pada umumnya dan hukum waris pada khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

R. Soeroso. 1999. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
R. Subekti. 1988. Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.
Hadikusuma Hilman. 1983Hukum Waris Adat. Bandung: Alumni
Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Kama Rusdiana, MH., jaenal Arifin, MA. 2007. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Surini Ahlan Syarif. 1983. Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek. Jakarta: Ghalia Indonesia
Anisitus Amanat. 2001. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ali Afandi. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Bandung: PT Bina Aksara.
Effendi Perangin. 2005. Hukum Waris. Jakarta: Rajawali Press.
M. Rasyid Ariman. 1988. Hukum Waris Adat dalam Yurisprudensi. Jakarta: Ghalia.
Soepomo. 1967. Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Universitas.
J. Satrio. 1992. Hukum Waris. Bandung: Penerbit Alumni.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar