BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perbandingan
hukum perdata adalah salah satu cabang ilmu hukum yang menggunakan metode
perbandingan dalam rangka mencari
jawaban yang tepat atas problema hukum perdata yang lebih kongkret. Ruang
lingkup perbandingan hukum perdata ada dua yaitu membandingakan hukum perdata
secara umum dan perbandingan huhkum perdata secara khusus. Membandingan hukum
perdata secara umum yaitu membandingkan berbagai sitem-sistem hukum yang ada sedangkan
membandingkan hukum perdata secara khusus yaitu membandingkan lembaga-lembaga
atau pranata-pranata berbagai sitem hukum yang ada.
Hukum
Waris adalah salah satu objek kajian dalam perbendingan hukum perdata yang
juga merupakan suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah
meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat
yang lebih berhak. Hukum waris sangat penting dalam kehidupan manusia terutama
para ahli waris, karena menyangkut kelangsungan hidup dan kebutuhan penerima
warisan tersebut, kelangsungan kepemilikan dan pemanfaatan harta warisan serta
keharmonisan hubungan keluarga antara ahli waris. Indonesia adalah
Negara yang menganut beberapa system kewarisan hukum diantaranya adalah system
kewarisan menurut hukum perdata barat atau menurut BW (Burgerlijk Wetboek), system keawarisan menurut hukum islam dan
system kewarisan menurut hukum adat.
Hukum adat merupakan system hukum
yang sudah dikenal di Indonesia jauh sebelum hukum islam dan hukum perdata
barat masuk ke Indonesia. Indonesia mempunyai keragaman kebudayaan dan adat di
berbagai daerah, dengan keragaman itu maka system hukum adatnya juga berbeda
termasuk mengenai kewarisan. Sedangkan hukum perdata yang dianut Indonesia saat
ini adalah hukum peninggalan dari kolonial belanda, dalam BW di atur sacara
jelas mengenai kewarisan. Kewarisan menurut BW berlaku kepada semua warga
Negara Indonesia tidak terkecualai kepada adat-adat tertentu.
Dua system kewarisan diatas
tentunya mempunyai karakter yang berbeda dengan karakter yang berbeda maka
menimbulkan akibat yang berbeda pula. Maka dari itu kami kelompok satu membuat
makalah yang berjudul “Perbandingan Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat
dan BW di Indonesia”.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang kami
mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Siapa saja yang berhak menjadi ahli waris menurut hukum adat
dan menurut BW
2.
Bagaimanakah system pembagian harta warisan menurut hukum
ada dan menurut BW
C.
Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah
adalah sebagai berikut :
1.
Dapat mengetahui ahli waris menurut hukum adat dan menurut
BW
2.
Dapat mengetahui siperti apa system pembagian warisan
menurut hukum ada dan menurut BW
D.
Manfaat
Manfaat makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagi
mahasiswa, makalah ini dapat mengembangkan pengetahuan di dalam ilmu hukum
perbandingan hukum perdata.
2. Bagi
masyarakat, memberikan masukan sekaligus dapat menambah wawasan tentang hukum
waris menurut hukum adat dan hukum waris menurut BW
BAB III
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian Hukum
Waris Menurut Hukum Adat
Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti
asalnya, sebab terjadinya waris tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia
tetapi selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat
mewariskan kepada warisnya.
Hukum waris adat atau ada yang menyebutnya dengan hukum adat waris
adalah hukum adat yang pada pokoknya mengatur tentang orang yang meninggalkan harta atau memberikan hartanya (Pewaris), harta
waris (Warisan), waris (Ahli waris dan bukan ahli waris) serta pengoperan dan
penerusan harta waris dari pewaris kepada warisnya.
Untuk mengetahui secara mendalam, berikut ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat :
Untuk mengetahui secara mendalam, berikut ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat :
1.
H.
Abdullah Syah, 1994
Pengertian hukum waris ditinjau dari Hukum
Adat adalah : aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan
& peralihan dari harta kekayaan yang berwujud & tidak berwujud dari
generasi pada generasi.
2.
Hilman
Hadikusuma, 1983
Hukum waris adat adalah hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris tentang
warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat itu
mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum
islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam
pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang
bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama
yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan dan kedamaian di dalam hidup.
3.
Soepomo,
1980
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen)
dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya
4.
Soerojo
Wignyodpoero, 1985
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum
yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah dari seseorang
yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat,
cara dan proses peralihannya.
5.
Iman
Sudiyat
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan
keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus / pengoperan dan
peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi ke
generasi.
Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat
rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, pada umumnya para penulis
hukum sependapat bahwa "Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang
mengatur tentang cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada
ahli waris atau para ahli warisnya".
B.
Pengertian Hukum
Waris Menurut BW
Beberapa penulis dan ahli hukum Indonesia telah mencoba memberikan
rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun dalam
bentuk batasan (definisi). Sebagai pedoman dalam upaya memahami
pengertian hukum waris secara utuh, beberapa difinisi di antaranya
penulis sajikan sebagai berikut:
1.
Wirjono Prodjodikoro
Mengemukakan: Hukum Waris adalah soal
apakah dan bagaimanakah pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang yang masih hidup”.
2.
Soepomo
“Hukum
waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak
berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah
mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi
“akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau
ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu,
akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal
proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda
tersebut.
3.
R. Santoso Pudjosubroto,
Mengemukakan, “Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah
hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup”. Seperti halnya Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah
"hukum warisan", R.
Santoso Pudjosubroto juga memakai istilah serupa di
dalam rumusannya, yakni menggunakan istilah "hukum warisan" untuk
menyebut "hukum waris". Selanjutnya beliau menguraikan bahwa sengketa
pewarisan timbul apabila ada orang yang meninggal, kemudian terdapat harta
benda yang ditinggalkan, dan selanjutnya terdapat orang-orang yang berhak
menerima harta yang ditinggalkan itu; kemudian lagi tidak ada kesepakatan dalam
pembagian harta warisan itu.
4.
B. Ter Haar Bzn
Dalam bukunya "Azas-azas dan Susunan Hukum Adat"
yang dialihbahasakan oleh K.Ng.
Soebakti Poesponoto memberikan rumusan hukum waris
sebagai berikut : "Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai
cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi".
BAB III
ANALISIS PEMBAHASAN
A.
Ahli Waris Menurut Hukum Adat dan Menurut
BW
1.
Ahli waris menurut hukum adat
Menurut hukum adat untuk menentukan siapa yang mejadi ahli
waris digunakan dua macam garis pokok yaitu :
a.
Garis pokok
keutamaan, yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan di antara
golongan-golongan dalam keluarga pewaris dnegan pengertian bahwa golongan yang
satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Golongan tersebut adalah
sebagai berikut :
·
Kelompok keutamaan
I : keturunan pewaris
·
Kelompok keutamaan
II : orang tua pewaris
·
Kelompok keutamaan
III : saudara-saudara pewaris dan keturunannya
·
Kelompok keutamaan
IV : kakek dan nenek pewaris
b.
Garis pokok
penggantian, yaitu garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara
orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris,
golongan tersebut yaitu :
·
Orang yang tidak
mempunyai penghubung dengan pewaris
·
Orang yang tidak
ada lagi penghubungnya dengan pewaris
Berdasarkan pengaruh dari prinsip
garis keturunan yang berlaku pada masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi
ahli waris tiap daerah akan berbeda. Masyarakat yang menganut prinsip
patrilineal seperti Batak, yang merupakan ahli waris hanyalah anak laki-laki,
demikian juga di Bali. Berbeda dengan masyarakat di Sumatera Selatan yang
menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah tidak saja anak laki-laki tetapi
juga anak perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut sistem bilateral, baik
anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang
tuanya.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian
mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana
untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta
warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 BW.
Hukum waris adat juga tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu
menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut
dalam alinea kedua dari pasal 1066 BW.
Akan tetapi jika si waris mempunyai
kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat
saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara
bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.
2.
Ahli waris menurut BW
Dalam hukum perdata BW indonesia dikenal 4 penggolongan ahli waris yaitu :
·
Golongan I : anak anak dan keturunan serta janda atau duda yang hidup terlama (Pasal 852 BW).
·
Golongan II : orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan dan keturunan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 854,
857, 859 BW).
·
Golongan III : Keluarga sedarah dalam garis lurus ke
atas sesudah orang tua (Pasal 853 BW).
·
Golongan IV: Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke enam
(Pasal 858 BW).
Ada beberapa ketentuan yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan penggolongan ahli waris diantaranya:
a.
Jika tidak ada ke
empat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada Negara.
b.
Golongan yang
terdahulu menutup golongan yang kemudian. Jadi jika ada ahli waris golongan I,
maka ahli waris golongan II, III dan IV tidak menjadi ahli waris.
c.
Jika golongan I
tidak ada, golongan II yang mewaris. Golongan III dan IV tidak mewaris. Akan
tetapi, golongan III dan IV adalah mungkin mewaris bersama-sama kalau mereka
berlainan garis.
d.
Dalam golongan I
termasuk anak-anak sah maupun luar kawin yang diakui sah dengan tidak
membedakan laki-laki/perempuan dan perbedaan umur.
e.
Apabila si
meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, atau juga
saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 859 BW,
warisan harus dibagi dalam dua bagian yang sama pembagian itu berupa satu
bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis sibapak lurus ke atas dan
satu bagian lagi untuk sekalian keluarga yang sama dalam garis ibu.
Di atas telah dikemukakan bahwa
BW mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta
peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua
dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan
pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan
golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris
menurut BW adalah sebagai berikut:
a.
Bagian golongan I
yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak
beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama,
masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang
anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang
anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai
empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di
antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal
itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh
1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya
meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan
selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak pewaris itu telah meninggal
lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau cucu
pewaris.
b.
Bagian golongan II
yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah
dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan
mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris
masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu
senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari
seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris
bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan
memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta
warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka
akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal
dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
·
1/2 (setengah)
bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang
saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
·
1/3 bagian dari
seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara
pewaris;
·
1/4 (seperempat)
bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga
orang atau lebih saudara pewaris;
·
Apabila ayah dan
ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh
pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada.
Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang
seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu
dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara
seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu
diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
c.
Bagian golongan III
yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris,
apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama
maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih
dahulu harus dibagi dua(kloving). Selanjutnya separoh yang satu
merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang
separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian
yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu harus
diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk
bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek. Bagian golongan keempat
yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam,
apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka
cara pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu
jatuh kepada saudara-saudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau
saudara senenek dengan pewaris. Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali
tidak ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada
para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832
ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan
sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik
negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan,
sepanjang harta warisan itu mencukupi”.
d.
Bagian Golongan IV : sanak keluarga selanjutnya dalam
garis menyamping. Sesudah garis keatas dipanggillah sanak keluarga dari garis
menyamping diluar golongan kedua. Sama seperti ahli waris golongan ketiga,
harta peninggalan terlebih dahulu dibagi (kloving) terlebih dahulu
menjadi dua bagian. Sanak saudara yang lebih dekat derajatnya dengan pewaris
menyampingkan sanak saudara yang lain. BW menetapkan sanak saudara menyamping
yang dapat mewaris hanyalah sampai derajat ke enam. Oleh karena itu apabila
dalam garis menyamping keluarga yang bertalian kekeluargaannya berada dalam
suatu derajat yang lebih jauh dari derajat keenam maka mereka tidak mewaris.
Kalau hal ini terjadi pada satu garis keturunan, maka bagiannya akan menjadi
hak keluarga pada garis keturunan yang lain, kalau orang itu mempunyai hak
kekeluargaan dalam derajat yang tidak melebihi derajat keenam.
B.
Sistem Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat dan
Menurut BW
1.
Sistem pembagian harta warisan menurut hukum adat
Dilihat dari orang yang mendapatkan
warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem pembagian warisan dalam hukum adat, yaitu sistem kewarisan kolektif,
kewarisan mayorat, dan kewarisan individual.
a. Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang
diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi
secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif.
Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta
peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan
atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntui”).
Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta
peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa bidang
tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka
tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak
kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di
Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka
Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh
ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.
b. Sistem Mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya
dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut
hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus
dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri
sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “kewarisan mayorat”.
Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh
harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak punyimbang” sebagai “mayorat
pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos
Sudarso kabupaten Jayapura. Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan
seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang disebut “tunggu
tubing” (penunggu harta) yang didampingi “paying jurai,sebagai “mayorat
wanita”.
c. Sistem Individual
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki
secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan
menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris
wafat, maka kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang banyak
berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum
waris barat sebagaimana diatur dalam BW dan dalam Hukum Waris Islam.
2.
Sistem pembagian harta warisan menurut BW
Sistem pembagian harta warisan menurut BW dapat digolongkan
dalam dua sistem yaitu system pewarisan Ab Intestanto dan system pewarisan
Testament
1.
Sitem Ab Intestanto
(menurut udang-undang)
Ahli waris
menurut undang-undang (ab intestato) adalah ahli waris yang mempunyai hubungan
darah dengan si pewaris. mewaris berdasarkan undang-undang ini adalah yang
paling diutamakan mengingat adanya ketentuan legitime portie yang dimiliki oleh
setiap ahli waris ab intestato ini. Dalam pasal 832 kuh perdata, dinyatakan
bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sederajat baik sah maupun
di luar kawin yang diakui, serta suami isteri yang hidup terlama. ahli waris
yang berdasarkan undang-undang ini berdasarkan kedudukannya dibagi menjadi dua
bagian lagi yakni:
a.
Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofed)
Ahli waris yang tergolong golongan ini
adalah yang terpanggil untuk menerima harta warisan berdasarkan kedudukannya
sendiri. dalam pasal 852 ayat (2) BW, dinyatakan:
“mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka memiliki pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri; ….”.
Mereka yang menjadi ahli waris karena kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga si pewaris mempunyai posisi yang memberikan kepadanya hak untuk menerima harta warisan, haknya tersebut adalah haknya sendiri bukan menggantikan orang lain. mewaris kepala demi kepala artinya tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya dan tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.
“mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka memiliki pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri; ….”.
Mereka yang menjadi ahli waris karena kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga si pewaris mempunyai posisi yang memberikan kepadanya hak untuk menerima harta warisan, haknya tersebut adalah haknya sendiri bukan menggantikan orang lain. mewaris kepala demi kepala artinya tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya dan tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.
b.
Berdasarkan penggantian (Bij Plaatvervuling)
Ahli waris yang menerima ahli waris dengan
cara menggantikan, yakni ahli waris yang menerima warisan sebagai pengganti
ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris. Ahli waris bij
plaatvervuling ini diatur dalam pasal 841 sampai pasal 848 BW.
Dalam pasal 841 BW ini dengan jelas mengatakan bahwa memberi hak kepada seseorang untuk menggantikan hak-hak orang yang meninggal dunia. orang menggantikan tempat tersebut memperoleh hak dari orang yang digantikannya.
Dalam pasal 841 BW ini dengan jelas mengatakan bahwa memberi hak kepada seseorang untuk menggantikan hak-hak orang yang meninggal dunia. orang menggantikan tempat tersebut memperoleh hak dari orang yang digantikannya.
2.
Sistem Testament (wasiat)
Ahli waris
berdasarkan wasiat (testament) yang
menjadi ahli waris di sini adalah orang yang ditunjuk atau diangkat oleh
pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya (Erfstelling), yang kemudian disebut dengan ahli waris ad
testamento. wasiat atau testamen dalam BW adalah pernyataan seseorang tentang
apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia. pada asasnya suatu
pernyataan kemauan terakhir itu ialah keluar dari satu pihak saja (Eenzijdig) dan setiap waktu dapat
ditarik kembali (Herroepen) oleh
pewasiat baik secara tegas (Uitdrukklijk)
atau secara diam-diam (Stilzwijdend). Aturan testamen yang terdapat dalam
pasal 874 BW ini mengandung suatu syarat bahwa testamen tidak boleh
bertentangan dengan legitime portie dalam pasal 913 BW. dan yang paling lazim
adalah suatu testamen berisi apa yang dinamakan erfstelling yaitu penunjukkan seseorang atau beberapa orang menjadi
ahli waris yang akan mendapat harta warisan seluruh atau sebagian dari harta
warisan.
Macam-macam Testament
(surat wasiat) sebagai berikut :
a.
Openbaare Testament
(Wasiat
Terbuka)
Yaitu wasiat berbentuk akta notaris yang
isinya dibuat sesuai dengan kehendak pembuat surat wasiat dengan dihadiri oleh
dua orang saksi untuk dibacakan saat pembuat surat wasiat meninggal dunia.
b.
Olografis Testament
(Wasiat
tulisan tangan)
Yaitu wasiat yang ditulis tangan oleh
pembuat surat wasiat dengan dihadiri oleh dua orang saksi, kemudian diserahkan
sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan dan nantinya diserahkan kepada
Kantor Balai Harta Peninggalan (BHP) untuk dibacakan saat pembuat surat wasiat
meninggal dunia.
c.
Geheimde Testament
(Wasiat
Rahasia)
Yaitu wasiat yang dibuat sendiri oleh
pembuat Surat Wasiat di hadapan 4 (empat) orang saksi, kemudian dimasukkan dalam
sampul tertutup yang disegel serta diserahkan kepada seorang notaris untuk
disimpan dan dibacakan saat pembuat surat wasiat meninggal dunia.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari analisis pembahasan di atas
maka dapat di tarik kesimpulan bahwa :
1.
Dalam hukum waris adat Tidak
mengenal “Legitieme Portie”. Menetapkan persamaan hak serta meletakkan
dasar kerukunan pada proses pembagian secara rukun dengan memperhatikan keadaan
istimewa tiap waris. Sedangkan hukum waris menurut BW Mengenal hak tiap ahli waris
atas bagian tertentu dari harta peninggalan bagian warisan menurut ketentuan
undang-undang (“Wettelijk Erfdeel” atau “Legitieme Portie” pasal
913 sampai dengan 929).
2.
Dalam system pembagian
harta warisan menurut hukum adat mengenal tiga system yaitu System Kolektif,
System Mayorat, System Individual sedangkan hukum waris menurut BW hanya
mengenal dua system pembagian harta warisan yaitu system Ab Intestanto (menurut
udang-undang) dan system Tastament (wasiat).
B.
Saran
Sebagai
mahasiswa seharusnya lebih mempelajari lagi dan mengkaji serta melakukan
perbandingan dalam hukum perdata pada umumnya dan hukum waris pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
R.
Soeroso. 1999. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika.
R.
Subekti. 1988. Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita.
Hadikusuma Hilman. 1983. Hukum Waris Adat. Bandung: Alumni
Subekti. 2003. Pokok-Pokok
Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Kama
Rusdiana, MH., jaenal Arifin, MA. 2007. Perbandingan
Hukum Perdata. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Surini Ahlan Syarif. 1983. Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk
Wetboek. Jakarta: Ghalia Indonesia
Anisitus
Amanat. 2001. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Ali
Afandi. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Bandung: PT
Bina Aksara.
Effendi
Perangin. 2005. Hukum Waris. Jakarta: Rajawali Press.
M.
Rasyid Ariman. 1988. Hukum Waris Adat dalam Yurisprudensi. Jakarta:
Ghalia.
Soepomo.
1967. Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Universitas.
J. Satrio. 1992. Hukum Waris. Bandung: Penerbit Alumni.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar